Sabtu, 19 Januari 2013

Saatnya kembali menganut faham Tukulisme



Judul
: Saatnya kembali menganut faham Tukulisme
Tempat
: Denpasar
Waktu
: 19 Januari 2013, 11:00 WITA

Bismillahirrahmanirrahiym...

Faham Tukulisme? Apa itu?
Sederhana saja: faham yang terinspirasi oleh sosok pelawak bernama Tukul… ya Tukul Arwana alias mas Rei… Rei… Reinaldi.

Kok bisa?

Hm… istilah ini muncul atas dorongan dan bantuan mbak Inneke Juliana yang membimbingku untuk dapat nerimo, percaya diri, dan tidak perduli dengan penilaian orang. Orang mau bilang ndeso, katrok, jelek… biarin aja. Gak bisa menyelesaikan sesuatu dengan sempurna… gak apa-apa, wong gak ada yang sempurna kecuali yang Maha Sempurna.
Intinya meniru gaya Tukul yang santai, seolah gak punya dosa, gak ada beban, jadi bahan ejekan dan tertawaanpun tetep PeDe aja… Dan yang paling penting adalah rasa syukur. Bersyukur dengan apa yang ada, percaya diri, realistis, dan selalu optimis.
Welcome positive thinking  bye bye… negative thinking!!!

Gitu aja?
Biarin, emang penting buatmu? Istilah-istilahku dhewe, kupakai untuk menghilangkan fikiran negative, rasa pesimis, atau bahkan ketakutan yang tidak rasional
Kalau teman-teman Mitrais bisa mengistilahkannya sebagai faham Uwokisme… “klewas-klewes tapi bejo terus” (sesuai kata iklan, orang bejo lebih untung dari orang pinter) Nah… kurang lebih seperti itu lah, hidup tanpa beban!

BTW, kalo mengingat-ingat masa remaja: SMP, SMA, awal-awal kuliah… faham ini benar-benar melekat kuat, terimplementasi dengan bagus. Masa itu dilalui dengan mulus tanpa beban. Bagaimana tidak… wong tugas utamanya sekolah dan kuliah malah gak pernah belajar, keluyuran, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang “tidak berguna” (that’s why, dulu nilai sekolah dan kuliah… cukupan lah )
Tapi jangan salah sangka dulu, kalau hal-hal yang “tidak berguna” itu hanya sampah. Banyak (ada juga) lho yang berguna, bahkan sampai sekarang. Berikut contohnya beberapa kegiatan yang kulakukan dulu (sebagai alasan untuk tidak belajar)
1.    Kemping
Tadabur alam, refreshing… ya itulah alasan lain melakukan kegiatan ini. Selain untuk refreshing dan olah fisik, juga mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Rute favorit gak jauh-jauh, cukup: Pulung-Ngebel. Hawa dinginnya cocok untuk menikmati sebungkus mie rebus
2.    Aksi Damai
Aksi turun jalan, tapi tidak pakai teriak-teriak, tidak pakai merusak… wong spanduk aja enggak ada. Isunya adalah aksi damai menolak: kekerasan, permusuhan, atau tawuran di Ponorogo. Waktu itu aksi dilakukan di perempatan Pasar Legi dengan membagikan bunga kertas dan stiker anti kekerasan: “Say no to fight”, “I love Damai”, “Aku Cinta Damai”, dsb…

Lalu apa gunanya kegiatan itu?
Tunggu dulu, baca dulu ceritanya….
Satu hal yang menggelitik untuk menuliskan cerita ini adalah: kemarin tengah malam ada pesan masuk dari kota Khatulistiwa, Pontianak. Memesan seratus tangkai bunga mawar kertas.

Lalu apa hubungannya?
Eits… sabar dong…

Dari pengalaman no 1, ada pelajaran yang bisa dimanfaatkan sampai sekarang ini. Salah satunya adalah survival kit untuk memasak. Alat masak itu penting, biar gak kelaparan di hutan. Tapi jadi gak keren kalau bawa kompor segedhe koper… emangnya mau kemping apa mau mengungsi?

Untuk membuat kompor sederhana saja, cukup memanfaatkan 1 kaleng bekas susu kental manis untuk kompor, dan 1 kaleng yang lain untuk pancinya. Kaleng untuk kompor, dibentuk sedemikian rupa menggunakan tang.

Bahan bakarnya apa?
Jangan pakai BBM… sudah mahal, ribet bawanya (kalau tumpah kebaju kan bau), berbahaya, dan tidak tahan air. Solusinya: gunakan lilin dan sumbu atau kertas tisu. Lalu disusun seperti ini:

Emang bisa gitu?
Meskipun kecil, jangan remehkan kemampuannya… si do’i jago kalau hanya untuk merebus mie instan.

Ah… segitu aja ternyata…!
“Sorry sorry sorry jek… jangan remehkan komporku…” Coba tiup apinya seperti meniup lilin… Hati-hati! Meskipun kecil tapi cabe rawit lho.

Hahaha… kiraian apa…! Segitu dibilang jago?
Coba deh sekarang ente tiup lebih kencang lagi (bandingkan dengan kompor minyak… pasti sudah mati apinya)
Tapi kompor ini? Lihat saja tuh jilatan apinya


Jilatan apinya mencapai lebih dari 30cm. Lihat saja, kompor ini dicoba diatas lantai ukuran 30x30cm.

Padahal kalau dilihat sih apinya, memang biasa-biasa aja:

Kalau ditiup lagi?
Lihat saja… dan perhatikan lantainya… seolah-olah melengkung. Itu karena efek radiasi panas yang dihasilkan.

OK… cukup dengan main-main apinya!
Yoi coi… sekarang lanjut ke pengalaman kedua: aksi damai. Seperti diceritakan di atas, aksi damai dilakukan dengan membagikan bunga kertas. Nah… hari ini mencoba untuk membuat bunga itu lagi. Itung-itung nostalgia masa lalu … plus menyiapkan orderan dari mbak yang di Pontianak

Notes: kompor tidak bisa dimatikan dengan cara ditiup (karena justru memperbesar api) tapi dengan cara ditutup dengan kain basah, atau kaleng biskuit (atau apapun untuk menghilangkan oksigen)

Ini nih penampakan bunga kertasnya…

Sik… sik… aku bingung, apa hubungannya kompor dengan bunga mawar kertas?
Kalem bos… kompor tadi fungsinya bukan untuk merebus mie lagi (wong istri sudah masak sayur mak nyus… kok repot-repot) Sekarang saatnya memasak lilin.

Makin aneh aja…?
Yup, lilin itu digunakan untuk melapisi bunga kertas.

Alhasil, mawar yang dihasilkan menjadi lebih matang warnanya, dan mengkilat. Terlebih lagi tahan terhadap air, dan menjaga bentuknya.


.: Bagaimana boss? Berguna kan pengalaman masa-masa remaja dulu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar