Kamis, 15 September 2016

Hati Telanjang…

  Disini kita bicara
  Dengan hati telanjang
  Lepaslah belenggu
  Sesungguhnya lepaslah

Pagi yang mellow diiringi lagu bang Iwan Fals dengan judul Air Mata, menambah syahdu suasana. Sambil menerawang jauh ke awang-awang, salah satu lirik lagu itu menggelitik rasa usilku. Hati telanjang.

Mengapa harus “telanjang”?
Apa maksudnya?
Pada ungkapan lain pun seringkali diikuti dengan kata-kata semisal: terbuka, putih, bersih. Kata-kata yang seakan memiliki kesamaan makna.

Tanpa berpikir panjang, segera saja membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online. Kemudian mencari arti kata hati. Salah satu hasilnya adalah "terbuka", hati terbuka:
-- terbuka 1 senang hati; 2 lurus hati; 

Lebih lanjut, merujuk pada buku: “Kamus Peribahasa Kontemporari Edisi Ketiga” oleh Abdullah Hassan, Ainon Mohd, yang diterbitkan oleh PTS Publications & Distributors Sdn Bhd., Selangor, Malaysia:
  • Senang hati: berarti seronok. Dalam KBBI, seronok, berarti menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dan sebagainya).
  • Lurus hati: berarti jujur

Sedangkan “buka hati”, dalam buku ini berarti: sedia menerima.

Jadi… bisa disimpulkan bahwa ungkapan-ungkapan diatas memiliki konotasi positif. Mewakili sesuatu yang baik. Terbuka, mau menerima, dan menyenangkan.

Tapi, bagaimana dengan ungkapan yang sebaliknya? Misal: hati yang tertutup, terkunci, atau bahkan mati.

Masih merujuk pada buku diatas, tutup hati berarti tidak mahu mendengar sebarang bentuk alasan lagi. Hal ini jelas menunjukkan konotasi negatif. Dengan kata lain, ungkapan ini mewakili sifat-sifat: keras kepala, sombong, tidak mau lagi mendengar penjelasan atau menerima petunjuk.

Lalu… bagaimana dengan ungkapan: hijab hati?
Hijab, menurut KBBI, berarti:
  • Dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain.
  • Dinding yang membatasi hati manusia dan Allah.
  • Dinding yang menghalangi seseorang dari mendapat harta waris.

Membatasi, menghalangi, bukankah memiliki kesamaan makna dengan menutupi?
Berarti, samakah hijab hati dengan tutup hati?
Jika sama… kenapa tetap bersikeras meng-hijab-i hati? Bukankah sudah jelas maknanya?

Ah… namanya juga sudah tertutup hatinya, tidak mau mendengar setiap bentuk alasan (tidak ingin mendengar alasan apapun). Lagipula sudah menjadi hak prerogatif Allah SWT memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Saya yang lemah ini hanya sebatas mengingatkan, menyampaikan pesan saja.

Saudariku… tutupilah tubuhmu, pertahankan dengan sekuat tenaga perisai malu, tanggalkan perisai itu hanya untuk suamimu.

… bukalah hati, bersihkan, dan biarkan cahayanya menghiasi hidup keluargamu, menyejukkan hati suamimu …



Yogyakarta, 16 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar