Rabu, 09 November 2016

Guru Jawa, Murid luar Jawa

Bismillahirrahmanirrahim...

Masih terhanyut dalam lamunan, terutama kenangan dengan para guru, ustadz, murabbi, atau orang-orang shaleh yang pernah saya kenal. Kali ini lamunan tertambat pada salah satu ucapan yang pernah disampaikan oleh guru (sengaja tidak saya sebutkan namanya, meski jelas teringat siapa beliau) tentang perbedaan tata krama berbicara antara adat Jawa dan luar Jawa (tidak ada maksud memancing SARA, menyampaikan apa adanya sebagai bahan belajar.)

Beliau mengawali pembicaraan dengan menceritakan tata krama berbicara salah satu adat di luar Jawa, terutama saat orang tua menasehati anaknya. Sebagai bentuk penghormatan dan perhatian anak kepada orang tua, saat orang tua berbicara si anak harus menatap matanya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa si anak memang memperhatikan dan mendengarkan. Jika si anak tidak menatap mata orang tuanya, maka dianggap tidak menghormati, tidak memperhatikan.

Beliau kemudian menyampaikan salah satu tata krama berbicara di Jawa. Sebagai bentuk penghormatan dan kerendahan hati, si anak tidak boleh menatap mata orang tuanya. Si anak seharusnya menundukkan pandangan, bahkan kepalanya, sebagai tanda hormat. Sebaliknya, jika dia menatap mata orang tuanya maka dianggap tidak menghormati, lancang, kurang ajar, bahkan menantang.

Permasalahannya adalah bagaimana ketika seorang guru yang berasal dari Jawa, kemudian menasehati muridnya dari luar Jawa?
Dari perbedaan tata krama yang mereka ketahui, akan terjadi kesalahpahaman. Si murid yang bermaksud menghormati dengan cara menatap mata gurunya, dianggap tidak menghormati oleh sang guru. Begitu juga sebaliknya, jika sang guru dari luar Jawa, akan merasa tidak dihormati oleh muridnya saat si murid yang dari Jawa menundukkan pandangan.

Sampai disini saya lupa, apa yang pak guru sampaikan berikutnya mengenai penjelasan beliau diatas. Saya hanya mencoba berimajinasi...

Karena kesalahpahaman ini tentu sang guru akan marah, sedangkan si murid tidak merasa bersalah. Keduanya sama-sama memegang prinsip dan tidak bisa dinegosiasikan. Sebagai jalan tengah, kemudian sang guru melapor kepada kepala sekolah.

Kepala sekolah yang bijak, tentu akan mendengarkan dulu penjelasan dari masing-masing pihak, sebelum memberikan keputusan apapun. Bahkan sebelum mengajukan satu pertanyaanpun. Setelah kedua pihak menceritakan duduk permasalahannya, maka giliran sang kepala sekolah untuk menengahi. Memberikan kebijakannya yang netral, yang bisa diterima semuanya.

Masih menurut imajinasi saya, kebijakan yang saya harapkan dari kepala sekolah adalah: mencari tahu apakah si murid mengetahui tentang tata krama berbicara di Jawa.

Jika si murid tidak tahu

Maka sang guru seharusnya bisa memaklumi perilaku si murid sebelumnya. Bagaimanapun juga dia tidak tahu, dan memang seperti itu ajaran yang dia pahami. Setelah si murid tahu, seharusnya dia harus bisa bersikap saat besok berhadapan dengan sang guru. Dia harus bisa menyesuaikan dimana dia berada dan berinteraksi dengan siapa.

Jika si murid tahu

Seharusnya si murid meminta ma'af pada sang guru dan tidak lagi mengulangi sikapnya. Dia juga harus rela menerima hukuman, misal menghadap bersama orang tuanya atau bentuk hukuman lainnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggarannya. Kedua belah pihak, sekolah dan orang tua, hendaknya terus bekerja sama membina si murid agar tidak mengulangi perbuatannya.

Bukankah semua sistem atau tata kehidupan di dunia ini tentunya ada aturan dan larangan?
Dimana aturan itu sudah mencakup kepentingan semua pihak, demi kelancaran dan kesejahteraan bersama. Semua elemen didalamnya seharusnya bisa menyesuaikan, sebagaimana kata peribahasa "Di mana bumi di pijak disitu langit dijunjung," yang artinya: "Haruslah mengikuti/menghormati adat istiadat di tempat tinggal kita."

Setelah semua pihak saling mema'afkan, memahami, dan bekerja sama tentunya proses belajar mengajar dapat kembali berjalan normal. Hubungan baik antara murid dan guru, orang tua dan sekolah kembali harmonis. Semua pihak terjaga kehormatannya dan merasa saling menghargai.


Kali ini bukan imajinasi, tapi pesan khusus untuk keluarga, istri, anak, dan cucuku kelak:

Ingat peribahasa diatas, "Di mana bumi di pijak disitu langit dijunjung." Dan yang paling perlu diingat adalah: ini bumi Allah, ini langit Allah. Karenanya: taati semua perintah-Nya, jauhi sejauh-jauhnya larangan-Nya, jagalah akidah, hormati sesama, gunakan seluruh kemampuan untuk menggapai surga yang dijanjikan-Nya.



Yogyakarta, 10 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar