Rabu, 09 November 2016

Guru, ma’afkan kami muridmu…

Bismillahirrahmanirrahim...

Tidak seperti biasanya beberapa hari ini saya gelisah saat tidur. Beberapa kali terbangun karena mimpi yang unik, mimpi yang dipenuhi adegan berlari. Tidak seperti mimpi seram pada umumnya, dalam mimpi ini saya bisa berlari dengan mudah. Berlari menyusuri berbagai tema cerita yang terus berubah. Ada pertemuan dengan orang-orang yang sudah meninggal, dimana mereka terlihat bahagia dan ceria di taman yang luas dan indah. Ada pula pertemuan dengan orang-orang yang masih hidup, dengan latar belakang cerita yang berbeda-beda. Begitu seterusnya berlari melewati mimpi-mimpi yang mirip dalam beberapa hari.

Meski mimpi itu sudah berlalu, ada beberapa hal yang menggelayuti pikiran. Secara tidak sadar membawa saya hanyut dalam lamunan, terbawa emosi, dan kadang muncul perasaan haru. Terkadang orang disekitar menangkap gelagat aneh, saat tiba-tiba mereka melihat saya dengan mata berkaca-kaca dalam diam. Mereka pura-pura tidak tahu, dan sayapun segera mengalihkan perhatian. Salah satunya istri, saat mendapati mata saya yang basah setelah salam, tanpa bisa ditutupi saat menengok ke kanan dan kiri. Segera saya katakan, "abi mengantuk," untuk menjaga perasaannya. Air mata adalah salah satu tanda fisik saat menahan kantuk yang berat.

Salah satu diantara banyak hal yang menggelayuti pikiran adalah: ingatan saya kepada para guru, ustadz, murabbi, atau orang-orang shaleh yang pernah saya kenal. Banyak guru yang begitu ikhlas membagi ilmunya, menuntun muridnya, mengingatkan dan membimbing anak didiknya agar menjadi orang yang berakhlak mulia. Pernah saya belajar kepada beberapa guru yang tidak mau dibayar, tidak pula menyediakan kotak infak, atau menerima pemberian dalam bentuk apapun untuk dirinya terkait aktifitas belajar-mengajar. Jika ada yang memberi, beliau sampaikan dan sarankan untuk disalurkan pada dhuafa.

Keikhlasan beliau dalam membimbing anak didiknya tidak hanya ditunjukkan saat proses belajar mengajar di kelas. Tapi dimana saja dan kapan saja. Bahkan saat kami sudah terpisah jarak, tidak lagi bisa bertatap muka, beliau tetap perhatian pada anak bimbingnya. SMS atau telepon masih mereka lakukan untuk menasehati saya, mengingatkan agar tetap menjaga akidah dan ibadah.

Sebaliknya saya... acuh tak acuh, tidak pernah menanyakan kabar... atau sekedar berkirim salam. Bahkan saat terakhir ada kesempatan tugas ke Bali, saya hanya menelepon, meminta ma'af tidak bisa berkunjung dengan alasan banyak pekerjaan. Padahal, jika saya mau dan berusaha... banyak waktu, banyak cara untuk sowan, hadir dalam majelis beliau. Hal inilah yang saat ini menggelayut di pikiran: Apakah saya telah menjadi murid yang kurang ajar? Yang telah melupakan jasa guru-gurunya. Tidak lagi memberikan penghormatan atau sedikit usaha untuk menyenangkan hati mereka...

Pak guru, bu guru… mohon ma’af atas kekhilafan anak-anakmu.
Terima kasih atas segala jasa-jasa dan perhatianmu kepada kami.
Semoga semua jerih payah itu menjadi amalan yang tidak terputus…

"Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: amal (sedekah) jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do'a anak soleh.'' (HR Muslim)



Yogyakarta, 10 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar