Jumat, 13 Juni 2008

Prinsip Da’wah – Pemahaman surat Al-Maa’uun


Materi liqo’
: Prinsip Da’wah – Pemahaman surat Al-Maa’uun
Tausyiah
: ust. Wahyudi Dwi Sasongko
Waktu
: 13 Juni 2008, ba’da Isya’ (waktu hanya perkiraan, tidak ada dalam catatan)

Bismillahirrahmanirrahiym... 

Materi diawali dengan sedikit cerita mengenai kebiasaan KH. Ahmad Dahlan ketika menjadi imam di pesantrennya. Dalam setiap sholat yang bacaannya dibaca keras, beliau selalu membaca surat Al-Maa’uun pada salah satu raka’at. Hal ini menggelitik santrinya untuk bertanya, “… bukankah banyak surat-surat pendek yang lain, kenapa selalu Al-Maa’uun?” (kira-kira seperti itu pertanyaannya)
Pada suatu kesempatan beliau menjelaskan pada santrinya kenapa selalu membaca surat itu. Latar belakangnya adalah pesan yang terkandung didalamnya. Berikut sedikit pembahasan mengenai surat Al-Maa’uun.

Surat Al-Maa’uun
Surat ini secara umum menjelaskan ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Orang yang dimaksud dalam ayat pertama bukan hanya orang Islam saja. Tapi seluruh orang yang mengaku beragama. Jadi orang yang mengaku beragama bisa dikatakan mendustakan agama ketika:
Menghardik anak yatim.
Dalam artian tidak hanya menghardik saja, tapi juga berbuat semena-mena, memakan hartanya, atau tidak membimbingnya.
Mendzalimi fakir miskin.
Tidak perduli, bertindak semena-mena terhadap fakir miskin, tidak mau bersedekah atau zakat, merendahkan martabat/derajatnya.
Lalai dalam sholat.
Khusus untuk ayat ini ditujukan pada orang Islam saja. Yaitu, orang yang mengaku Islam tapi tidak sholat, atau sholat tapi semaunya sendiri.
Riya’.
Memperlihatkan amalnya untuk tujuan pamer (bukan untuk da’wah), ingin dipuji, ingin dinilai sebagai orang yang alim. Padahal sifat riya’ atau suka pamer sudah masuk sebagai tindakan musyrik yang terkecil.
Enggan membantu sesama.
Tidak perduli dengan nasib mereka yang kurang beruntung, bersifat egois, atau oportunis.

Lebih lanjut mengenai lalai dalam sholat, ustadz Wahyudi menjelaskan bahwa banyak hal yang bisa menjadi sebab. Lalai bukan hanya berarti tidak sholat sama sekali. Bisa jadi sholat sudah dilakukan sesuai dengan rukun-rukunnya, tapi karena tidak memenuhi kriteria berikut maka bisa dikategorikan sebagai lalai dalam sholat:
Tidak tepat waktu.
Tidak bersegera untuk sholat ketika sudah masuk waktunya. Sholat dilakukan setelah menunda-nunda waktunya karena lebih mementingkan urusan pribadi.
Tidak berjama’ah.
Lebih suka sholat sendirian, dirumah. Padahal banyak hadits yang menyebutkan wajibnya laki-laki untuk sholat fardlu berjama’ah di masjid. Memang tidak semua ulama mewajibkannya, tapi sebagian yang lain itu menyebutkan bahwa laki-laki berjama’ah di masjid itu hukumnya sunnah mua’akad. Sunnah yang ditekankan, tipis bedanya dengan wajib. Jadi bukan lagi berarti “lebih baik dilakukan” tapi “seharusnya dilakukan”.
Ingat cerita mengenai Abdullah bin Ummi Maktum kan? Seorang buta, rumahnya jauh melalui jalan berlubang dan semak belukar, tidak ada yang menuntun… tapi tetap harus berjama’ah ke masjid.
(Ya Rabb… dengan kesehatan yang Kau anugerahkan, rumah yang dekat dengan jalan aspal yang mulus, kendaraan yang bagus, tidak ada halangan/larangan… semoga hamba yang lemah ini bisa istiqomah untuk berjama’ah, amin)
Tidak khusyu’.
Salah satu hal yang paling berat untuk dapat dilakukan saat sholat, yaitu khusyu’. Saat adzan dan iqomah setan lari terkentut-kentut, tapi saat sholat dimulai… mereka kembali untuk mengganggu, dan membisikkan “… ingatlah ini, ingatlah itu …”
Meskipun memang keadaannya seperti itu, bukan berarti kesalahan ditujukan pada setan saja. Tapi kembali pada kita, apa niatan sholatnya? Hanya rutinitas ataukah berkonsultasi langsung dengan Allah SWT.
Terburu-buru.
Kalau sholat hanya sebatas rutinitas atau untuk menggugurkan kewajiban saja, seringkali menjadikan kita ingin segera menyelesaikannya. Sebaiknya setiap rukun sholat dilakukan dengan tuma’ninah. Berhenti sejenak, nikmati ketenangan dan ketentraman hati saat dekat dengan-NYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar