Judul
|
: 2x ditampar disiang bolong
|
Tempat
|
: Yogyakarta
|
Waktu
|
: 19 April 2014
|
Bismillahirrahmanirrahiym...
Seperti
biasa akhir pekan memanfaatkan waktu bersama keluarga. Namun ada yang spesial
dihari ini, karena keluarga besar dari Ponorogo akan transit di Jogja. Transit
sebentar untuk istirahat, mandi, dan ganti baju sebelum menghadiri akad nikah
di daerah Monjali.
Menurut
perkiraan rombongan sampai Jogja pukul 11-12 siang, mengacu pada kebiasaan
mudik dengan mobil sendiri yang membutuhkan waktu sekitar empat jam. Ternyata
perkiraan itu meleset, karena rombongan mengajak saudara yang punya jam terbang
tinggi dan hafal jalur alternatif. Sehingga pukul 10.10 rombongan sudah sampai
Prambanan, yang artinya sebentar lagi sampai lokasi. Padahal posisi kami masih
di jalan, belum beli jajan/makanan ringan untuk hidangan pembuka, es degan
sebagai minuman selamat datang. Bahkan belum menjemput kakak Aira dari sekolah
(jadwal pulang pukul 10:30) dan yang tidak kalah penting… terlanjur janji untuk
membelikan sepatu baru sepulang sekolah.
Segera
saja angkat jangkar, putar haluan, pasang layar… melaju mencari shortest-path.
Check-point pertama adalah stan jajanan dekat JEC. Berjajar beberapa meja
dibawah tenda sederhana menyajikan beragam makanan kecil dan minuman dingin.
Tidak perlu waktu lama, semua kebutuhan jajan sudah terpenuhi.
Sesaat
sebelum melanjutkan ke tujuan berikutnya, pandangan tertuju pada sesosok orang
dengan pakaian lusuh dan kumal berjalan didepan deretan stan. Tiba-tiba salah
satu pemilik stan es tape menghentikan orang itu. Memintanya menunggu sebentar…
dan tanpa kusangka dia menyodorkan satu cup es gratis padanya.
Kejadian
itu sempat membuatku terhenyak dan menunda keberangkatan, namun karena waktu
sudah menunjukkan pukul 10:20 terpaksa bergegas menuju sekolah Aira. Setelah
itu menuju garis finish (persimpangan STTA, titik temu dengan rombongan yang
belum tahu jalan menuju rumah) melalui jalan pasar Bantengan yang kecil, padat,
dan ramai. Perjalanan sempat terhambat karena disisi kiri ada seorang yang
lumpuh, berjalan menggunakan tangan sebagai tumpuan. Sedangkan lalu lintas dari
depan seakan tidak ada putusnya, tidak memberi kesempatan untuk mendahului
orang tersebut.
Dengan
sedikit menggerutu aku tetap melaju pelan dibelakang orang itu. Tidak memainkan
gas, membunyikan klakson, atau mengintimidasinya untuk minggir. Berusaha
bersabar menunggu dia mencapai ruang kosong didepan untuk minggir dan jeda
kendaraan dari depan. Meski kendaraan-kendaraan dibelakang dengan gusar
terus-terusan memepet dan membunyikan klakson.
Akhirnya
bisa lolos dari macet dan segera menuju titik temu, memutar kendaraan, dan parkir
dihalaman kosong menunggu rombongan. Baru saja menarik rem tangan, rombongan
sudah datang. Langsung saja bergerak menuju rumah, kembali melalui jalur macet
tadi (kali ini dari arah berlawanan)
Terlihat
didepan orang tadi masih berjalan disisi jalan menggunakan tangannya. Kukurangi
laju kendaraan karena kali ini kendaraan dari depan memakan jalan
menghindarinya. Lagi-lagi ada hal diluar dugaan terjadi. Seorang ibu dengan
celemek dibajunya keluar dari warung kecil yang sederhana, memanggil orang itu…
memberinya makan gratis!
Untuk
kedua kalinya ditengah terik matahari kota besar, Jogja, aku terhenyak seolah
mendapat tamparan keras… Dua kali berturut-turut diperlihatkan orang yang
dengan tulus membantu sesama, tanpa mengharap imbalan, pujian… atau dukungan
politik. Semata-mata mengungkapkan rasa syukur dengan membantu sesama, meskipun
kondisi mereka sendiri… ma’af… mungkin pas-pasan.
Belajar
dari kejadian ini, lalu apa yang aku lakukan?
(hari
ini) Tidak banyak yang kulakukan… hanya kembali membagikan makanan dan
oleh-oleh dari rombongan Ponorogo ke tetangga sekitar penjuru mata angin.
(semoga
mendapat kesempatan seperti dermawan-dermawan diatas: dengan tulus membantu
sesama)
Yogyakarta,
19 April 2014
Notes:
- Orang yang menerima bantuan dalam cerita
diatas (gelandangan berpakaian lusuh, dan orang cacat) tidak meminta-minta,
mengemis, atau mengiba-iba.
- Orang yang memberi adalah orang yang
sederhana: Orang pertama pemilik/penjaga stan kecil ukuran sekitar satu meter
menjajakan es tape. Orang kedua mungkin pemilik/juru masak warung sederhana penjual
nasi rames.
mantep, mas Sulthon, semoga makin banyak orang-orang seperti mereka ya :)
BalasHapusTermasuk yang membaca (dan yang menulis) :)
Hapussedekah untuk menjadi kaya
BalasHapus