Judul
|
: Haji Durjana!
|
Tempat
|
: Yogyakarta
|
Waktu
|
: 28 Mei 2014
|
Bismillahirrahmanirrahiym...
Sedih,
kecewa, menyesal punya kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Salah satunya adalah
tidak segera men-digitalisasi catatan selama perjalanan haji tahun lalu.
Catatan, foto, dan cerita seputar ibadah haji masih teronggok dalam buku yang
mulai tertutup buku-buku lain diatas rak. Ingin rasanya menyampaikan pengalaman
dari sudut pandang yang berbeda. Sedikit jawaban atau gambaran bagi kebanyakan
umat Islam dalam memandang ibadah ini. Terutama pandangan miring tentang
fasilitas yang diterima jama’ah haji Reguler.
Pagi
ini tergelitik untuk menyampaikan beberapa hal setelah semalam membaca status
Facebook seorang teman dan tanggapan-tanggapan dari teman lainnya. Apa yang disampaikan
dalam blog ini hanya pengalaman yang bersifat umum. Insya Allah dalam waktu
dekat detil pengalaman setiap hari di Tanah Suci dapat segera dipublikasikan.
Hal-hal
yang ingin saya sampaikan adalah tentang:
Penginapan
Mungkin
beberapa tahun lalu kondisi penginapan jama’ah haji masih “generik”. Bisa jadi
kondisinya memprihatinkan seperti yang diceritakan dan dibayangkan kebanyakan
umat. Namun apa yang saya alami tahun lalu (2013) sangat berbeda. Kami
benar-benar tinggal di hotel, baik di Madinah maupun di Mekkah, meskipun ikut
haji Reguler.
Hotel
Madinah
Selama
di Madinah kami tinggal ber-3 dalam 1 kamar. Fasilitasnya sekelas hotel
berbintang: spring bed bagus dan selimut tebal, AC, TV, mini bar, meja, dan
kamar mandi dalam modern. Semuanya bersih dan dibersihkan setiap hari. Jarak
hotel ke Masjid Nabawi hanya berkisar 300 m saja.
Hotel
Mekkah
Sekitar
sebulan di Mekkah kami juga tinggal di hotel bagus. Meskipun tidak semewah di
Madinah, tapi tetap kami tinggal ber-3 dalam 1 kamar. Fasilitasnya: Kasur busa
dan selimut tebal, lemari, AC, dan kamar mandi dalam. Sama halnya di Madinah,
hotel dan kamar mandinya bersih dan dibersihkan setiap hari. Bahkan mendapat
suplai air zam-zam (2 galon air mineral, 1 galon air zam-zam) habis disuplai
lagi. Jarak hotel ke Masjidil Haram “hanya” 1-2 km saja. Cukup ditempuh dengan
jalan kaki sekitar 20 menit. Kalau sedang mendampingi jama’ah yang tua, bisa
naik mini bus dengan membayar 2-3 SR (Rp. 7 - 10 ribu).
Soal
lokasi hotel, memang ada jama’ah yang tinggal sekitar 10 km dari Haram. Tetapi
pihak hotel ataupun pemerintah setempat menyediakan mini bus atau kendaraan
angkutan GRATIS!
Konsumsi / makanan
Masalah
konsumsi selama di Tanah Suci tidak selalu sama, tergantung lokasinya. Selama
di Madinah dan ibadah wukuf di Arofah, jama’ah mendapatkan jatah makanan nasi
kotak yang disediakan katering setempat. Sedangkan selama di Mekkah, setiap
jama’ah mendapatkan uang saku 1500 SR (~Rp. 5 juta) untuk biaya makan. Jama’ah
mengusahakan / mencari makan sendiri dengan berbekal uang itu.
Secara
umum untuk katering sama dalam menyajikan menu. Mereka berusaha membuat makanan
Indonesia, tapi memang masih ada cita-rasa Arab-nya. Dari segi jumlah dan rasa,
bagi saya lebih dari cukup: nasi, sayur, daging / ikan, buah, roti, air putih,
susu, jus buah semuanya berlimpah. Bahkan jatah makan 3x sehari bisa jadi 5x
sehari.
Berlimpahnya
makanan dari katering masih belum seberapa. Karena bisa bertambah dengan adanya
pembagian makanan dari dermawan setempat disepanjang jalan menuju masjid, kita
biasa menyebutnya: “fii sabilillah”, atau “halal-an”. Menirukan mereka yang mengatakan
“fii sabilillah” atau “halal… halal…” sambil membagikan makanan. Ditambah lagi
setiap hari Senin dan Kamis ada menu buka bersama di masjid!
Beragam
menu mewah dibagikan secara GRATIS! Ada nasi kebuli / biryani ukuran jumbo,
nasi + 1 ayam utuh, dibagikan per orang (padahal 1 porsi cukup untuk ber-4).
Ada juga paket roti + susu / jus buah + buah. Tidak jarang satu pick-up penuh
beragam buah-buahan membagi-bagikan pada setiap orang yang lewat. Bahkan truk kontainer
besar parkir dipinggir jalan membagikan ribuan minuman kemasan (susu, jus buah,
air putih)
Memang
jenis makanan yang dibagikan (nasi atau roti) kebanyakan khas Timur Tengah,
mungkin tidak begitu cocok untuk lidah orang Indonesia, terutama para lansia. Kalau
mau jeli, perhatikan dulu apa yang dibagikan. Jika cocok, misal nasi + ayam goreng,
atau roti atau buah, ikut saja mengantri. Selain itu baik di Madinah maupun
Mekkah banyak tersedia toko atau penjual makanan keliling khas Indonesia, yang
dijalankan para TKI. Toko sembako khas Indonesia juga menjamur disana.
Secara
umum soal makanan, tanpa membawa bekalpun bisa bertahan hidup disana. Makanan
dibagikan setiap hari (bahkan setiap sekitar waktu sholat), GRATIS dan BERLIMPAH!
Seperti
yang disampaikan oleh Gus Abe (pembina manasik haji masjid Ukhuwah Denpasar) kemudahan
menjalankan ibadah di Tanah Suci bisa didapatkan dengan syarat tidak menjadi haji Durjana (haji yang tidur saja
disana).
Yogyakarta,
28 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar