Selasa, 27 Mei 2014

Haji Durjana!



Judul
: Haji Durjana!
Tempat
: Yogyakarta
Waktu
: 28 Mei 2014


Bismillahirrahmanirrahiym...

Sedih, kecewa, menyesal punya kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Salah satunya adalah tidak segera men-digitalisasi catatan selama perjalanan haji tahun lalu. Catatan, foto, dan cerita seputar ibadah haji masih teronggok dalam buku yang mulai tertutup buku-buku lain diatas rak. Ingin rasanya menyampaikan pengalaman dari sudut pandang yang berbeda. Sedikit jawaban atau gambaran bagi kebanyakan umat Islam dalam memandang ibadah ini. Terutama pandangan miring tentang fasilitas yang diterima jama’ah haji Reguler.

Pagi ini tergelitik untuk menyampaikan beberapa hal setelah semalam membaca status Facebook seorang teman dan tanggapan-tanggapan dari teman lainnya. Apa yang disampaikan dalam blog ini hanya pengalaman yang bersifat umum. Insya Allah dalam waktu dekat detil pengalaman setiap hari di Tanah Suci dapat segera dipublikasikan.

Hal-hal yang ingin saya sampaikan adalah tentang:
Penginapan
Mungkin beberapa tahun lalu kondisi penginapan jama’ah haji masih “generik”. Bisa jadi kondisinya memprihatinkan seperti yang diceritakan dan dibayangkan kebanyakan umat. Namun apa yang saya alami tahun lalu (2013) sangat berbeda. Kami benar-benar tinggal di hotel, baik di Madinah maupun di Mekkah, meskipun ikut haji Reguler.

Hotel Madinah
Selama di Madinah kami tinggal ber-3 dalam 1 kamar. Fasilitasnya sekelas hotel berbintang: spring bed bagus dan selimut tebal, AC, TV, mini bar, meja, dan kamar mandi dalam modern. Semuanya bersih dan dibersihkan setiap hari. Jarak hotel ke Masjid Nabawi hanya berkisar 300 m saja.

Hotel Mekkah
Sekitar sebulan di Mekkah kami juga tinggal di hotel bagus. Meskipun tidak semewah di Madinah, tapi tetap kami tinggal ber-3 dalam 1 kamar. Fasilitasnya: Kasur busa dan selimut tebal, lemari, AC, dan kamar mandi dalam. Sama halnya di Madinah, hotel dan kamar mandinya bersih dan dibersihkan setiap hari. Bahkan mendapat suplai air zam-zam (2 galon air mineral, 1 galon air zam-zam) habis disuplai lagi. Jarak hotel ke Masjidil Haram “hanya” 1-2 km saja. Cukup ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Kalau sedang mendampingi jama’ah yang tua, bisa naik mini bus dengan membayar 2-3 SR (Rp. 7 - 10 ribu).

Soal lokasi hotel, memang ada jama’ah yang tinggal sekitar 10 km dari Haram. Tetapi pihak hotel ataupun pemerintah setempat menyediakan mini bus atau kendaraan angkutan GRATIS!

Konsumsi / makanan
Masalah konsumsi selama di Tanah Suci tidak selalu sama, tergantung lokasinya. Selama di Madinah dan ibadah wukuf di Arofah, jama’ah mendapatkan jatah makanan nasi kotak yang disediakan katering setempat. Sedangkan selama di Mekkah, setiap jama’ah mendapatkan uang saku 1500 SR (~Rp. 5 juta) untuk biaya makan. Jama’ah mengusahakan / mencari makan sendiri dengan berbekal uang itu.

Secara umum untuk katering sama dalam menyajikan menu. Mereka berusaha membuat makanan Indonesia, tapi memang masih ada cita-rasa Arab-nya. Dari segi jumlah dan rasa, bagi saya lebih dari cukup: nasi, sayur, daging / ikan, buah, roti, air putih, susu, jus buah semuanya berlimpah. Bahkan jatah makan 3x sehari bisa jadi 5x sehari.

Berlimpahnya makanan dari katering masih belum seberapa. Karena bisa bertambah dengan adanya pembagian makanan dari dermawan setempat disepanjang jalan menuju masjid, kita biasa menyebutnya: “fii sabilillah”, atau “halal-an”. Menirukan mereka yang mengatakan “fii sabilillah” atau “halal… halal…” sambil membagikan makanan. Ditambah lagi setiap hari Senin dan Kamis ada menu buka bersama di masjid!

Beragam menu mewah dibagikan secara GRATIS! Ada nasi kebuli / biryani ukuran jumbo, nasi + 1 ayam utuh, dibagikan per orang (padahal 1 porsi cukup untuk ber-4). Ada juga paket roti + susu / jus buah + buah. Tidak jarang satu pick-up penuh beragam buah-buahan membagi-bagikan pada setiap orang yang lewat. Bahkan truk kontainer besar parkir dipinggir jalan membagikan ribuan minuman kemasan (susu, jus buah, air putih)

Memang jenis makanan yang dibagikan (nasi atau roti) kebanyakan khas Timur Tengah, mungkin tidak begitu cocok untuk lidah orang Indonesia, terutama para lansia. Kalau mau jeli, perhatikan dulu apa yang dibagikan. Jika cocok, misal nasi + ayam goreng, atau roti atau buah, ikut saja mengantri. Selain itu baik di Madinah maupun Mekkah banyak tersedia toko atau penjual makanan keliling khas Indonesia, yang dijalankan para TKI. Toko sembako khas Indonesia juga menjamur disana.

Secara umum soal makanan, tanpa membawa bekalpun bisa bertahan hidup disana. Makanan dibagikan setiap hari (bahkan setiap sekitar waktu sholat), GRATIS dan BERLIMPAH!

Seperti yang disampaikan oleh Gus Abe (pembina manasik haji masjid Ukhuwah Denpasar) kemudahan menjalankan ibadah di Tanah Suci bisa didapatkan dengan syarat tidak menjadi haji Durjana (haji yang tidur saja disana).

Yogyakarta, 28 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar