Sabtu, 16 Agustus 2014

Malam Tirakatan



Judul
: Malam Tirakatan
Tempat
: Yogyakarta
Waktu
: 16 Agustus 2014

Bismillahirrahmanirrahiym...

Ada undangan acara kampung "Malam Tirakatan". Sesuai namanya kufikir ya tirakat... sederhana, apa adanya.
Tanpa fikir panjang, datang ke lapangan tempat acara dengan kostum ronda: celana kain, kaos, jaket, dan pernik ronda lainnya. Ternyata setelah sampai tujuan, hadirin yang lain pakai setelan batik dan peci. Lapangan ditata sedemikian rupa mirip acara resmi lainnya.

Kepalang tanggung, cuek aja berbaur dengan yang lain berbaris, bersalaman dengan penerima tamu dan bersiap menerima konsumsi. Entah karena kostum yang tidak sesuai, sekitar empat pramusaji mengabaikan saya. Mereka fokus melayani tamu yang berpakaian rapi. Beberapa orang mendahului dengan sekotak nasi dan segelas teh dikedua tangannya.

Dengan polos saya bertanya ke pramusaji: "pripun niki, saya dapat konsumsi gak?"
Hehe... akhirnya dapat juga nasi kotak dan teh hangat. Soal makanan untuk dimakan saya gak pakai malu-malu. Justru yang membuat malu (dan sedih) adalah ketika membuang makanan, tidak menghabiskannya, atau mencelanya.

Singkat cerita, acara diisi dengan menyanyikan lagu: Indonesia Raya, dan Hari Merdeka dengan penuh semangat. Tokoh-tokoh kampung juga menceritakan perjuangan para pendahulu yang lahir di Pelem Lor. Sebagai bentuk penghargaan, ahli waris para pejuang diberikan piagam tanda jasa dari kampung. Mereka yang mendapat piagam itu bukan hanya karena berjuang secara fisik dalam artian bertempur/berperang. Tapi berjuang membangun desa, diantaranya:
  • Melestarikan seni pembuatan gamelan, dari tahun 60-an hingga sekarang. Karena prestasi itu desa Baturetno menjadi pemenang lomba desa dan maju ketingkat provinsi.
  • Membangun dan mewakafkan musholla secara swadaya (lokasinya dimana saya belum tahu). Seingat saya tokoh ini bernama mbah Pademo, beliau masih hidup dan menerima piagam langsung. Pria berumur kira-kira lebih dari 70 tahun ini, dengan usaha sendiri (tenaga dan uang) mencari batu kali, mengangkut semen, dan membangun musholla.
...
Disini saya sengaja menghentikan tulisan ini, karena saya mencoba merenungi apa penghargaan yang seharusnya diterima mbah Pademo. Seorang renta yang membangun musholla dengan tangan dan keringatnya sendiri.
Apakah sebatas ucapan terima kasih... piagam penghargaan... atau uang yang banyak?

Hm... semua itu bisa jadi tidak setimpal...
Ng... bukan... bukan itu yang beliau harapkan...
Kalau dugaanku benar... harapan beliau adalah warga Pelem Lor mau memakmurkan musholla yang sudah dibangun.

Ya! Dengan memakmurkan musholla itu, maka mengalirlah pahala kepada beliau (tanpa mengurangi pahala jama'ah sholat)

.: Jadi kesimpulannya: mari warga Pelem Lor (dan dimana saja Anda berada) kita makmurkan musholla/masjid. Kita jadikan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah, sosial, dan bermasyarakat. Mari kita hargai para wakif, donatur, dan ulama yang membangun masjid. Jangan sia-siakan usaha mereka...

Yogyakarta, 16 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar