Kamis, 27 Agustus 2015

Tidak ada orang kaya yang pelit!

Bismillahirrahmanirrahiym...

Hampir bisa dipastikan saya tidak pernah meninggalkan meja kerja saat jam istirahat siang, kecuali sholat Dhuhur. Apalagi Senin-Kamis, waktu yang nikmat untuk tidur siang sebentar menunggu waktu sholat, meski sambil duduk. Tapi siang ini berbeda, rasa gelisah menyelimuti… tidak tenang, pikiran melayang kemana-mana, mondar-mandir sampai tiba adzan Dhuhur.


Entah kenapa jadi ikut-ikutan mikir setelah membaca beberapa posting di internet tentang ibadah Umrah dan Haji. Ada pihak-pihak yang menilai jamaah Umrah dan Haji itu hanya menghambur-hamburkan uang, terlebih mereka yang berangkat berkali-kali. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli orang lain, padahal biaya itu bisa dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Ada pula beberapa komentar yang menanggapi bahwa orang Umrah atau Haji kan hasil usaha sendiri, menabung demi untuk ibadah. Kenapa orang beribadah dilarang dengan dalih dananya untuk kesejahteraan?
Bukankah yang wajib memelihara kesejahteraan rakyat adalah negara, pemerintah? Jika seperti itu alasannya, bagaimana kalau anggota DPR dan pejabat pemerintah tidak usah digaji? Gajinya untuk kesejahteraan rakyat saja, mau?

Tidak puas sampai disitu, ada yang mempermasalahkan kepekaan sosial individu. Siapa lagi kalau bukan individu jama’ah Umrah dan Haji yang disinggung. Mereka dianggap tidak peduli dengan kondisi sekitar, hanya mementingkan ibadah sendiri, menghamburkan uang… padahal tetangga banyak yang miskin. Seharusnya lebih mengutamakan menolong masyarakat miskin daripada uangnya dipakai untuk biaya ke Tanah Suci.

Ah… semakin saya simak perdebatan di dunia maya itu semakin membuat tidak tenang, bingung sendiri, gelisah. Entah kenapa…

“Lagi-lagi Islam dipojokkan!” Pikirku.
Ibadah-ibadah dalam Islam dijadikan kambing hitam. Terlebih tingkah laku umat Islam sendiri yang mengatasnamakan ibadah tapi belum tentu sesuai Sunnah, belum tentu mencerminkan ajaran Islam. Tidak salah juga menyudutkan jama’ah Umrah dan Haji yang berangkat berkali-kali. Bukankah bisa dialokasikan untuk amal jariyah, sebagai wujud nyata Haji Mabrur.

Tapi… kenapa mesti jama’ah Umrah dan Haji yang jadi tersangka?

Bagaimana dengan orang yang pulang-pergi pelesiran keluar negeri, wisata belanja, shopping baju, kuliner icip-icip makan sedikit banyak sisa, gonta-ganti gadget, koleksi kendaraan, dsb. Bukankah uang yang mereka hamburkan untuk kesenangan itu bisa untuk kesejahteraan sesama juga?

Haji setahun sekali… mayoritas dilakukan orang-orang tua yang seumur hidupnya menabung demi ibadah yang diidam-idamkan, sekali sebelum mati. Hanya sebagian kecil saja yang bisa lebih dari satu.
Sedangkan pelesiran keluar negeri, foya-foya, dugem… bisa lebih sering, bisa lebih banyak menghabiskan uang, bisa dilakukan oleh lebih banyak orang.

Aaah…

Ditengah pikiran yang tak menentu, tiba-tiba teringat tausyiah yang pernah disampaikan oleh mas Rahmat, ketua takmir masjid Nurul Huda Pelem Lor. Beliau pernah menyampaikan bahwa: “Tidak ada orang kaya yang pelit. Yang ada itu orang miskin yang tamak, serakah, iri, sirik!”

Orang miskin menilai orang kaya itu pelit, ketika mereka menginginkan sesuatu dari si kaya. Sedangkan si kaya tidak mau berbagi. Wajar saja, apa yang didapat si kaya adalah hasil usaha kerasnya. Dia berhak mendapatkan semuanya. Urusan berbagi itu urusan dia. Kewajiban pajak, zakat, infaq, sedekah itu tanggungannya.
Masalah sampai tangan si miskin atau tidak… si miskin tidak bisa menuntut. Hanya bisa berharap! Tapi yang terjadi adalah muncul sifat tamak. Si miskin merasa berhak… ingin menguasai atau setidaknya mendapat bagian.

Hm… disini biasanya kita (saya terutama) memposisikan diri sebagai si miskin, atau (jika malu disebut miskin) memposisikan diri sebagai pihak netral (karena juga tidak mau disebut kaya). Membela si miskin (karena bisa jadi ada rasa tamak juga), menyalahkan si kaya yang tidak mau berbagi. Menuntut dia untuk bertanggung-jawab menyejahterakan masyarakat, hanya karena memiliki harta lebih banyak. Posisi netral ini cukup nyaman, bisa menuntut si kaya dan tidak dituntut si miskin. Ketika ada pembagian… bisa ikut-ikutan minta… hehe.

However, memang benar seharusnya kita peduli dengan sesama, terutama tetangga. Karena Rasulullah SAW sudah berwasiat kepada kita, umatnya, agar ketika memiliki nikmat lebih mau berbagi dengan tetangga.

“Jika Engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya dan bagikan kepada tetanggamu” (HR. Muslim)

Jangan sampai acuh tak acuh dengan keadaan tetangga.

”Bukanlah seorang mukmin yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangga sebelahnya kelaparan” (HR.  Bukhori dalam Adabul Mufrod)

Dan masih banyak lagi wasiat lain untuk memperhatikan tetangga dan membantu orang miskin.

Baiklah, lupakan semua hiruk-pikuk diatas. Sekarang saatnya saya memeriksa check list untuk muhasabah diri:


  • Sudahkah saya berbuat baik pada tetangga selama ini? Tidak mengganggu, tidak menggunjing, tidak membuka aib. Menolong, bersedekah, membeli dagangannya, memenuhi undangan, dsb.
  • Sudahkah saya berbagi dengan tetangga pekan ini? Berbagi nikmat, kabar gembira, berbagi lauk, oleh-oleh, buah, sayur hasil kebun, dsb.
  • Sudahkah saya menengoknya kemarin? Bersilaturahim datang kerumah, atau setidaknya bertemu, bersalaman di musholla/masjid (5x, atau 3x jika Dhuhur dan Ashar masih ditempat kerja)
  • Sudahkah saya menyapa mereka pagi ini? Keluar rumah tidak langsung memacu kendaraan, menyapa, menitipkan rumah, sekedar melempar senyum, bermuka manis, dsb.
  • Sudahkah saya…


Yogyakarta, 27 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar